Mahasiswa Berpotensi Mengalami Depresi selama Pembelajaran Jarak Jauh

 

Mahasiswa-mahasiswa di Indonesia hingga saat ini masih disibukkan dengan proses pembelajaran jarak jauh yang dilaksanakan secara daring. Berbagai macam tantangan pun bermunculan, membuat mahasiswa rawan terkena stres, frustasi, bahkan depresi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan PDJKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia) yang menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan kasus depresi 57,6 persen di era pandemi. Fakta mengejutkan ini menjadi sebuah bukti bahwa tidak semua individu dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Sama halnya dengan mahasiswa yang saat ini harus belajar daring, mereka terpaksa kehilangan kesempatan belajar luring dalam masa pandemi Covid-19 ini. Para mahasiswa mau tidak mau harus beradaptasi dengan lelahnya belajar daring. Apabila mahasiswa tidak mampu beradaptasi maka potensi stres, frustasi, bahkan depresi bisa terjadi terhadap mahasiswa.


Dalam proses pembelajaran jarak jauh, mahasiswa dituntut untuk mengikuti rangkaian proses perkuliahan yang akan lebih baik jika dilakukan secara luring. Padahal para mahasiswa terus menanti kapan waktu yang tepat bagi mereka untuk merasakan sensasi belajar langsung di kampus tercinta. Namun, yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Suasana jenuh di dalam kamar sembari menatap layar gawai sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Bayangkan, selama berjam-jam mereka hanya duduk dengan perasaan lelah sembari sesekali meregangkan pinggang karena terasa pegal duduk berlama-lama di kursi. Setelah pembelajaran selesai pun para mahasiswa masih disibukkan dengan tugas-tugas yang datang tidak hanya dari satu pengajar saja, melainkan beberapa pengajar yang silih berganti memberikan tugas agar mahasiswa dapat lebih memahami materi perkuliahan. Tentu saja, rutinitas serta kesibukkan itu menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk beradaptasi dalam kebiasaan baru selama pandemi Covid-19 ini.


Hal-hal tersebut adalah segelintir permasalahan yang dialami oleh beberapa mahasiswa yang memang memiliki akses internet yang cukup stabil. Jauh dari itu, permasalahan yang lebih serius masih menjadi tantangan bagi mahasiswa yang tidak memiliki akses internet yang cukup stabil. Sesekali dari mereka harus mencari tempat yang terbaik untuk belajar daring agar akses internet yang didapat menjadi lebih baik. Tentu saja, hal tersebut bukanlah hal mudah bagi setiap mahasiswa sebab permasalahan yang lebih rumit dialami oleh mahasiswa yang tinggal jauh dari kota, yaitu mereka yang tinggal di daerah yang bahkan jauh dari akses internet. Lebih dari itu, permasalahan yang lebih kompeleks juga masih dihadapai oleh mahasiswa yang tidak memiliki perangkat gawai yang cukup canggih untuk menunjang proses perkuliahan. Dimulai dari perangkat untuk melalukan video conference bersama pengajar sampai dengan perangkat untuk mengerjakan tugas. Jika melihat keseluruhan permasalahan tersebut, tentu saja masih terdapat banyak PR dari sistem pembelajaran jarak jauh ini. Maka bukan lagi hal aneh apabila pembelajaran jarak jauh ini sering kali dikaitkan dengan peningkatan angka depresi pada mahasiswa.


Depresi berkaitan erat dengan kondisi hati seseorang yang merasa tidak bahagia, merasa tertekan, atau kehilangan minat untuk beraktivitas. Menyoal permasalahan-permasalan yang dialami oleh mahasiswa selama belajar daring, membuat mahasiswa mengalami tekanan. Beberapa diantara mereka merasa tertekan dengan pembelajaran yang membosankan sehingga materi pembelajaran tidak mudah dicerna. Imbasnya, tugas yang diberikan pun tidak dapat terselesaikan dengan baik, dan nilai mahasiswa saat ujian juga tidak sesuai dengan harapan. Rangkaian persoalan pelik itu menambah daftar beban mahasiswa untuk menjalankan proses perkuliahan. Karena perasaan tertekan itu pula mahasiswa merasa tidak bahagia dan kehilangan minat untuk beraktivitas. Hal ini membuat produktivitas mahasiswa menurun. Coba kita bandingkan saja produktivitas mahasiswa ketika melaksanakan perkuliahan luring dan daring. Saat melakukan perkuliahan luring, kegiatan mahasiswa tentu sangat banyak mulai dari kegitan rapat bersama anggota organisasi, mengikuti kegiatan UKM, melaksanakan kerja kelompok, mengikuti seminar dan lomba, aktif di event-event kampus, mengerjakan tugas individu, aktif di kegiatan volunteer, bahkan sampai ada yang mengikuti kegiatan student exchange. Rangkaian kegiatan tersebut nampaknya melelahkan, tetapi ternyata mahasiswa menjalankan seluruh kegiatan tersebut dengan sangat bahagia. Hal tersebut terjadi karena mereka melakukannya bersama teman, dalam suasana yang mnyenangkan, lingkungan yang tidak menjenuhkan sehingga apa pun kegiatan mahasiswa di kampus, mereka mampu melaksanakannya dengan tanpa beban sebab mendapatkan lingkungan yang sesuai untuk mereka agar menjadi mahasiswa produktif. Semua kegiatan tersebut juga dilakukan mahasiswa ketika mereka dalam keadaan bahagia. Maka dari itu, dapatlah ditarik benang merah dari pokok persoalan ini, yakni kondisi hati dan perasaan mahasiswa sangat berpengaruh terhadap capaian proses belajar juga produktivitas mahasiswa. Apabila dibandingkan dengan kegiatan daring, tentu saja suasana yang dirasakan mahasiswa kurang mendukung. Berlama-lama di layar laptop tentu saja dapat membuat mahasiswa menjadi bosan dan lelah. Selain itu, suasana belajar yang monoton juga membuat mereka menjadi lebih mudah jenuh dan stres. Ditambah dengan materi pembelajaran yang sulit dipahami dan tugas yang menumpuk serta nilai yang kurang memuaskan membuat suasana hati mereka tidak bahagia. Jika perasaan tidak bahagia ini terus dirasaka oleh mahasiswa maka potensi stres, frustasi, dan depresi sangat mungkin terjadi pada mahasiswa. Imbasnya, produktivitas dan prestasi mahasiswa pun mengalami penurunan.


Namun, berkaitan dengan seluruh potensi depresi yang dimiliki oleh mahasiswa, ada juga beberapa hal yang harus menjadi perhatian bersama. Selain daripada tuntutan adaptasi kebiasaan baru yang dinilai cukup melelahkan, potensi depresi juga dapat diperparah oleh sugesti dalam diri orang tersebut. Ketika perasaan lelah, jenuh, frustasi dan lain sebagainya dianggap nyata oleh perasaan sebagai sesuatu yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, maka diri kita akan terus menerus ada dalam perangkap depresi tersebut. Akan tetapi, jika kita menemukan cara yang tepat untuk mengobati rasa lelah dengan selalu berpikir positif dan merasa bahagia, maka rasa lelah, jenuh, ataupun frustasi menjadi sedikit terobati. Oleh sebab itu, memang sangat diperlukan beberapa gebrakan dari proses pembelajaran jarak jauh ini ke arah pembelajaran yang setidaknya tidak terlalu melelahkan, bahkan lebih jauh lagi diharapkan dalam waktu dekat ini beberapa metode pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan menjadi jawaban atas keluhan depresi yang dialami oleh mahasiwa. Disamping itu, kita juga harus terus menjaga suasana hati kita agar selalu berpikiran positif. Semoga saja, covid-19 ini bisa segera reda dan kita semua bisa memulai lagi hidup yang lebih menyenangkan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel