Implementasi Pendidikan Berbasis Moral Reasoning dan Ethical Sensitivity sebagai Self Censor terhadap Strafikasi Sosial Pergaulan Remaja di Era Society 5.0

Implementasi Pendidikan Berbasis Moral Reasoning dan Ethical Sensitivity sebagai Self Censor terhadap Strafikasi Sosial Pergaulan Remaja di Era Society 5.0

Penulis: Suci Nur Intan

PENDAHULUAN

Saat ini, kita tengah memasuki era society 5.0 yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin pesatnya perkembangan sistem informasi dalam aktivitas keseharian manusia. Istilah society 5.0 sendiri popular sejak 2 tahun lalu, tepatnya pada 21 Januari 2019. Society 5.0 merupakan sebuah istilah yang merujuk pada kondisi dimana kehidupan manusia dipermudah dengan adanya teknologi, bahkan teknologi menjadi bagian dari manusia itu sendiri. Konsep yang ingin dibawakan ini adalah bagaimana adanya revolusi pada masyarakat yang memanfaatkan teknologi dengan juga mempertimbangkan aspek manusia dan humaniora (Al Faruqi, 2019).  Akan tetapi, perkembangan teknologi di era society 5.0 bagaikan dua sisi mata koin, yakni memiliki dampak positif dan dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua kalangan, tidak hanya orang dewasa, pebisnis, ataupun orang yang ahli dalam teknologi saja. Namun, juga dapat dirasakan oleh orang yang awam dengan pemanfaatan teknologi, bahkan oleh anak-anak dan remaja yang secara psikologis memiliki rasa ingin tahu tinggi dan sangat mudah terpengaruh. 

Implementasi Pendidikan Berbasis Moral Reasoning dan Ethical Sensitivity sebagai Self Censor terhadap Strafikasi Sosial Pergaulan Remaja di Era Society 5.0

Dampak positifnya, dengan teknologi dan sistem informasi yang semakin canggih, pengetahuan menjadi semakin mudah didapatkan. Terlebih bagi generasi muda terutama yang masih berstatus sebagai pelajar, hal ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan terutama dalam proses pembelajaran. Dengan kecanggihan teknologi, materi pembelajaran tidak hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh guru ataupun sumber bacaan dalam bentuk buku-buku wajib, tetapi juga melalui pengadaan materi yang dapat diakses melalui internet secara mudah. Namun, dibalik itu semua, kecanggihan teknologi di era society 5.0 juga dapat menimbulkan dampak negatif. 

Dampak negatifnya, tidak sedikit dari para remaja justru memilih menggunakan kecanggihan teknologi untuk hal yang tidak seharusnya sehingga menyebabkan degradasi moral. Perubahan teknologi yang berdampak pada interaksi sosial para remaja menyebabkan ketidakseimbangan antara norma lama dengan keadaan saat ini sehingga dibutuhkan adanya kontrol sosial (Astuti dan Nurmalita, 2014). Sebagai contoh, dengan adanya teknologi, ada banyak remaja yang menggunakan gawainya untuk mengakses tontonan yang kurang mendidik seperti tontonan yang menginspirasi mereka untuk masuk dalam pergaulan bebas. Maka dari itu, banyak remaja yang terjerumus dalam pergaulan bebas mulai dari merokok sampai menggunakan obat-obatan terlarang, terlibat dalam aksi kejahatan dan kekerasan, berpacaran sampai melewati batas, dan perilaku menyimpang lainnya. 

Buktinya, berdasarkan informasi dari ketua Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait, disebutkan bahwa hingga saat ini ada 69% remaja di Indonesia merupakan perokok aktif. Selain itu, ada 89 juta anak rentan terpapar asap rokok dan terancam rusak kesehatannya. Lebih dari itu, berdasarkan data dari Indonesia Drugs Report 2022 tercatat angka prevalensi setahun terakhir penyalahgunaan narkoba pada kelompok remaja berusia 15-24 tahun meningkat dari 1,80% pada tahun 2019 menjadi 1,96% di tahun 2021. Terlebih jika melihat fakta dari laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ternyata terdapat 123 kasus anak dan remaja berhadapan hukum sebagai pelaku hingga Agustus 2020. Kriminalitas terbanyak kekerasan fisik sebanyak 30 kasus dan kekerasan seksual 28 kasus. Mirisnya, di Indonesia, ada banyak juga remaja yang melakukan pergaulan bebas sampai melewati batas. Buktinya, di Indonesia, jumlah remaja yang berusia 10-24 tahun ada 65 juta orang atau sebanyak 30 persen dari total keseluruhan penduduk. Sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah ternyata sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Setiap tahunnya 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan (Andriani, dkk., 2022). Permasalahan inilah yang akhirnya menyadarkan kita bahwa sudah saatnya kita mengatasi situasi ini agar remaja menjadi lebih bermoral dan beretika baik dalam bersikap maupun dalam pergaulan sosial agar tercipta generasi emas di masa depan yang mampu memanfaatkan teknologi secara bijak dan membawa kebermanfaatan.

PEMBAHASAN

Pengaruh Perkembangan Teknologi terhadap Degradasi Moral Remaja dalam Stratifikasi Sosial Pergaulan Remaja

Fase remaja merupakan momentum proses pendewasaan sehingga seiring dengan pesatnya perkembangan zaman, remaja menjadi lebih rentan terpengaruh oleh budaya serta kebiasaan yang tidak sesuai dengan moralitas dan nilai sosial. Apalagi masa remaja adalah masa transisi yang sedang mencari jati diri (Astuti dan Nurmalita, 2014). Pada usia remaja, mereka akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar, menganalisis, serta membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Remaja akan melihat adanya kenyataan lain di luar dari apa yang selama ini dia ketahui sehingga dia akan melihat bahwa ada banyak hal yang memengaruhi kehidupan dia sehingga timbul beragam jenis pemikiran lainnya. Pada akhirnya, pemikiran mereka menjadi lebih luas dan sangat rentan melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan aturan sosial. Maka tidak heran, banyak remaja melakukan segala cara untuk mengikuti arus pergaulan agar mereka merasa senang karena telah mengikuti perkembangan zaman sekalipun pergaulan tersebut merupakan pergaulan bebas dan membawa pengaruh negatif. Oleh karena itu, jika tidak ada bimbingan dan pengawasan dari keluarga ataupun lingkungan dan orang-orang terdekat, teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan negatif sehingga terjadi degradasi moral pada remaja dalam pergaulan sosial atau yang lebih kita kenal sebagai pergaulan bebas. Dari fenomena inilah, kita dapat menilai, betapa buruknya moral remaja saat ini. Sangat disayangkan apabila nilai-nilai moral dan sikap sosial remaja luntur di dalam kehidupan masyarakat. Sangat ironis jika harus melihat mereka tumbuh menjadi generasi yang tidak peduli dan minim empati terhadap sekitar. Namun, ironinya, justru hal inilah yang sedang dirasakan oleh masyarakat terutama remaja dimana sebagian dari mereka justru nilai moralitas serta kepekaan sosialnya sangat kurang. 

Lebih dari itu, rendahnya kepekaan sosial membuat stratifikasi sosial terasa semakin kentara dalam dampak yang tidak diinginkan. Saat ini, tidak sedikit dari kalangan remaja memandang strata dalam pergaulan sosial. Mereka yang berasal dari kalangan atas akan saling berkelompok dengan mereka yang berasal dari kalangan atas lagi, begitu pula dengan kalangan bawah menengah. Stratifikasi sosial adalah penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yang disusun secara bertingkat (hierarki), yaitu kelas atas (uppear class), kelas menengah (middle class), kelas bawah (lower class) (Vilda, 2019). Adapun proses terjadinya stratifikasi sosial dibedakan menjadi dua, yaitu terjadi secara alamiah yang dipengaruhi oleh kepandaian, usia, harta kekayaan, dan ada yang terjadi secara disengaja, yaitu dipengaruhi oleh pembagian kekuasaan. Ada 3 aspek karakteristik stratifikasi sosial, yaitu adanya perbedaan dalam kemampuan, gaya hidup, dan hak serta akses dalam memanfaatkan sumber daya. Adapun stratifikasi sosial pergaulan remaja ini terbentuk karena memiliki nilai, sikap, pola pikir, dan kepentingan yang sama. 

Akan tetapi, di tengah degradasi moral remaja, stratifikasi sosial ini akan menjadi patokan dengan siapa remaja yang satu bergaul dengan remaja lainnya dan menghasilkan output berupa jenis pelanggaran moral apa yang dapat dihasilkan dari pergaulan bebas tersebut. Sekarang, jika moralitas yang dimiliki oleh remaja ini masuk dalam kategori rendah (degradasi moral), maka stratifikasi sosial ini akan bekontribusi untuk menciptakan heterogenitas jenis pelanggaran moral yang dilakukan oleh remaja berdasarkan latar belakang strata sehingga menjadi lebih kompleks lagi ketika stratifikasi ini semakin memuncak dan membuat pergaulan bebas justru semakin variatif dan jauh lebih buruk. Tentunya, ini bukanlah apa yang kita inginkan dari adanya perkembangan teknologi. Karena bagaimanapun, janji teknologi tetap harus diupayakan. Adapun dalam Martono (2011), disebutkan janji teknologi antara lain teknologi harus menjanjikan perubahan, kemajuan, kemudahan, peningkatan produktivitas, kecepatan, dan popularitas. Tidak ada dari satu janji teknologi pun yang bertujuan untuk menciptakan penurunan moral remaja atau dampak buruk lainnya.

Permasalahan inilah yang kemudian menyadarkan kita bahwa di tengah pesatnya perkembangan teknologi di era society 5.0, kita harus mulai berbenah dan melatih diri sebagai self censor agar lebih bijak dan selektif dalam memanfaatkan teknologi. Dengan self censor, kita dapat memanfaatkan perkembangan teknologi secara bijak, yakni dengan menggunakan teknologi sebaik-baiknya dan mengeliminasi dampak buruk dalam pemanfaatannya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita menanamkan nilai-nilai moral pada remaja agar mereka menjadi generasi yang berkualitas di masa depan nantinya karena telah memanfaatkan teknologi secara bijak. Dalam hal ini, kita harus berupaya untuk menciptakan mekanisme yang dapat meningkatkan moralitas dan karakter remaja dalam kehidupan bermasyarakat di tengah perkembangan teknologi. Adapun salah satu mekanisme yang dapat diwujudkan, yaitu melalui pendidikan. Di sini, pendidikan harus berperan dalam meningkatkan moralitas dan karakter remaja agar menjadi generasi yang berkualitas dan beretika dalam stratifikasi pergaulan remaja di era society 5.0.

Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Moralitas dan Karakter Remaja

Moral merupakan keseluruhan norma dan aturan yang mengatur tingkah laku seseorang di dalam kelompok sosial atau masyarakat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. Sementara itu, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, bepikir, bersikap dan bertindak (Rusdiyani, 2016). Moralitas dan karakter tidak serta merta ada dalam diri manusia secara alamiah sedari lahir, tidak pula terbentuk dalam sehari dua hari. Moralitas dan karakter harus ditanamkan sedari dini agar terbiasa untuk berperilaku sesuai dengan aturan, kaidah, dan norma yang ada di masyarakat sekalipun berada dalam gempuran modernitas zaman. Penanaman nilai moral dan karakter bisa dilakukan melalui pendidikan, baik itu pendidikan secara formal di sekolah ataupun pendidikan secara non formal, seperti di lingkungan keluarga dan masyarakat. 

Di lingkungan sekolah, ada peran guru sebagai tenaga pendidik yang selain berperan dalam mentransferkan ilmu pengetahuan, juga berperan dalam memperbaiki karakter peserta didik melalui strategi pembelajaran aplikatif agar nilai-nilai moralitas dan karakter yang diajarkan ke siswa tidak hanya dimengerti secara teoretis, tetapi bertujuan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, ada pendidikan di lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam lingkup masyarakat yang berperan penting dalam pembentukan moralitas dan karakter anak. Dalam hal ini, keluarga tidak hanya penting bagi seorang anak, tetapi juga presensinya sangat penting di masyarakat sebab lingkungan keluarga yang baik akan menciptakan kualitas tingkah laku yang baik pula pada diri tiap anggota keluarga terhadap lingkungan masyarakat. Keluarga dapat berperan untuk mengajarkan nilai moralitas dan melatih self censor agar remaja dapat bijak dan selektif dalam memanfaatkan teknologi sehingga tidak mudah terjerumus dalam pergaulan bebas ataupun dalam hal lainnya yang dapat menimbulkan degradasi moral. Selain itu, di lingkungan masyarakat, berbagai usaha dapat dilakukan, salah satunya dengan mengikutsertakan para remaja dalam berbagai organisasi masyarakat atau kegiatan positif lainnya seperti karang taruna atau organisasi pemuda sejenisnya di masyarakat agar remaja memiliki kepekaan tinggi terhadap kondisi sekitar. Namun, untuk mewujudkan itu semua, tentu diperlukan model pendidikan yang lebih aplikatif dan langsung menyentuh kesadaran moral dari remaja itu sendiri. Adapaun model pendidikan yang direkomendasikan dalam era percepatan teknologi ini adalah pendidikan berbasis moral reasoning dan ethical sensitivity untuk menanamkan moralitas dan karakter positif dalam diri remaja.

Implementasi Pendidikan Berbasis Moral Reasoning dan Ethical Sensitivity

Moral Reasoning adalah kesadaran moral yang menjadi faktor utama yang memengaruhi perilaku dalam pengambilan keputusan etis. Sementara itu, ethical sensitivity merupakan kemampuan untuk menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan etis (Rahayu, D., dkk, 2019). Moral Reasoning (penalaran moral) berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang atau sekelompok orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dapat dianggap baik dan buruk. Ada empat aspek moral reasoning. Pertama, seseorang harus bisa menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral yang didalamnya mencakup empati, berbicara sesuai dengan porsinya, dan memperkirakan bagaimana masing-masing individu dalam situasi terpengaruh oleh berbagai situasi tersebut. Kedua, seseorang harus bisa memperikirakan apa yang seharusnya dilakukan dan merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk pada standar moral. Ketiga, seseorang harus bisa mengevaluasi bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau mengetahui hal apa yang bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan lingkungan sekitar terhadap aktualisasi sikap tersebut. Keempat, melaksanakan serta mengimplementasikan sikap yang merujuk pada proses pengaturan diri. Jadi, melalui keempat aspek ini, dapat diketahui bahwa penerapan moral reasoning dapat mengambil peran penting dalam pengembangan prinsip moral terutama pada remaja. 

Perlu diketahui, penalaran moral remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia hidup. Tanpa pengaruh dari lingkungan, aspek moral remaja tidak dapat berkembang. Pada dasarnya, nilai-nilai moral yang dimiliki oleh remaja merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar. Remaja mempelajari dan baik secara langsung ataupun tidak langsung diajari oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia harus bersikap yang baik dan bagaimana tingkah laku seseorang dikatakan baik atau tidak. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan moral reasoning, diharapkan remaja yang menghadapi dilema-dilema moral secara responsif dapat mengembangkan prinsip-prinsip moral pribadi yang dapat bertindak sesuai dasar moral yang diyakini dan bukan hasil dari tekanan sosial. Oleh sebab itu, sangat penting bagi lingkungan remaja untuk menerapkan mekanisme pendidikan berbasis moral reasoning agar nilai moral ini bukan hanya dipahami secara teoretis, tetapi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, penerapan pendidikan berbasis moral reasoning dapat dilakukan melalui mekanisme yang terarah mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pertama, penerapan pendidikan berbasis moral reasoning di lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga, orang tua dapat menstimulasi perkembangan penalaran moral remaja dengan memberikan perhatian lebih tentang seperti apa seharusnya seorang remaja berperilaku yang mencerminkan penalaran moral yang sesuai norma dan aturan. Sebagai contoh, orang tua dapat melatih remaja untuk memiliki empati, berbicara dengan sopan kepada yang lebih tua, menjaga tata krama, dan memperkirakan bagaimana sikap dan perilaku yang sesuai dalam ragam situasi dan keadaan. Lalu, orang tua dapat mengajarkan konsep kewajaran & keadilan agar remaja dapat lebih fleksibel dalam bergaul dan tidak memandang stratifikasi sosial. Kemudian, orang tua juga beperan dalam mengajarkan bagaimana proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai yang sesuai dengan aturan dan nilai sosial. Lalu, yang tidak kalah penting, orang tua juga harus mengajarkan ego-strength pada remaja dan proses pengaturan diri agar nilai-nilai moralitas tersebut tertanam dalam diri mereka. Dengan cara ini, diharapkan nilai moralitas dapat menciptakan mekanisme self control dalam diri remaja sehingga tanpa ada paksaan dari pihak manapun, remaja dapat memahami mana yang benar dan mana yang salah. Sekalipun zaman mengalami perkembangan teknologi yang pesat, diharapkan mekanisme self control ini dapat menjadikan mereka lebih bermoral sehingga akan lebih bijak dan selektif dalam memanfaatkan teknologi. Selain itu, jika remaja memiliki moralitas yang sudah sesuai dengan aturan dan nilai-nilai sosial, maka mereka juga akan lebih bijak dan adil dalam bergaul. Mereka tidak akan menjadikan stratifikasi sosial sebagai patokan dengan siapa mereka akan berkawan. Justru sebaliknya, karena mereka mengetahui bahwa karakter dan latar belakang tiap individu berbeda, maka bagi mereka yang bermoral tentu itu menjadi salah satu alasan mereka harus berkawan agar bisa lebih mengenali dan saling membantu serta melengkapi sesuai dengan kelebihan masing-masing. Kedua, jika dilihat di lingkungan sekolah, ada peran guru sebagai tenaga pengajar yang berperan menerapakan moral reasoning ini sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan cara memasukan nilai moralitas dan karakter pada materi pembelajaran atau sebagai materi pengiring melalui penggunaan metode atau model pembelajaran yang relevan. Dalam konsep ini, peran guru di sekolah selaku tenaga pengajar di pendidikan formal dapat menjadikan mekanisme ini sebagai sarana dan wahana utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan dengan sistematis, programatis dan berjenjang dengan tujuan menciptakan generasi yang cerdas dan bermoral. Ketiga, di lingkungan masyarakat, dapat melibatkan peran pemerintah setempat khususnya tingkat desa / kelurahan maupun kecamatan dengan membuat suatu program pembinaan remaja dimana tujuan dari program ini untuk memperbaiki perkembangan moral dan dapat menekan angka degradasi moral remaja di tengah pesatnya perkembangan teknologi di era society 5.0. Disamping penerapan moral reasoning, ada juga metode yang bisa ditambahkan dalam konsep peningkatan moralitas agar mendapatkan output yang lebih optimal. Metode yang dimaksud adalah dengan menerapkan ethical sensitivity.

Ethical sensitivity (sensitivitas etis) merupakan kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etis yang terjadi. Sensitivitas etis merupakan tingkat kepekaan seseorang dalam merespon kejadian atau peristiwa tertentu dalam kaitannya dengan nilai moral. Jadi, ethical sensitivity dapat diartikan sebagai kesadaran seseorang dalam menilai perilaku etis. Pada akhirnya, ethical sensitivity ini dapat membantu merangsang moralitas reasoning seseorang untuk menentukan apa yang baik dan benar dan meningkatkan kesadaran individu tersebut dalam merespon suatu hal berdasarkan prinsip dan nilai moral yang dinilai melalui kemampuan mereka untuk menyadari adanya nilai-nilai etis. Dalam hal ini, kemampuan seseorang untuk berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh sensitivitas orang tersebut dalam beretika. Adapun faktor yang sangat penting dalam menilai ethical sensitivity adalah adanya kesadaran seseorang bahwa mereka adalah agen moral. Agen moral ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam membuat penilaian moral berdasarkan gagasan-gagasan tentang benar dan salah serta untuk bertanggung jawab atas tindakan ini. Dengan kata lain, agen moral adalah seseorang yang mampu bertindak dengan mengacu pada benar dan salah. Pada dasarnya, konsep ethical sensitivity sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepekaan seseorang dalam merespon kejadian atau peristiwa tertentu dalam kaitannya dengan nilai moral, terutama bagi seorang remaja sehingga dapat merangsang moral reasoning mereka dalam bersikap dan bertingkah laku.

Jika konsep ini tidak dipahami secara serius, bukan tidak mungkin remaja akan sulit untuk mendeteksi bagaimana sikap dan etika yang seharusnya diterapakan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, di tengah degradasi moral remaja, hal ini perlu dideteksi sejak dini sebagai langkah awal untuk mencegah dan mengatasi perilaku tidak etis melalui implementasi muatan etika dalam pendidikan. Implementasi pendidikan berbasis ethical sensitivity dapat dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Setiap individu pasti mempunyai tingkat sensitivitas etis yang berbeda. Tingkat sensitivitas ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti orientasi etika, komitmen dalam diri, budaya atau kultur lingkungan, dan karakter personal. Untuk itu, jika kita ingin membangun ethical sensitivity dalam remaja, maka kita harus melakukan mekanisme terarah yang memperhitungkan faktor-faktor tersebut di lingkungan mereka. 

Pertama, di lingkungan keluarga, orang tua dapat berperan dengan cara mengajarkan remaja untuk lebih peka dengan situasi di sekitar serta memberikan contoh yang baik dan benar terkait bagaimana sikap kita saat menghadapi situasi tersebut dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Tidak jauh berbeda dengan peran orang tua, di lingkungan sekolah pun ada peran guru sebagai tenaga pengajar yang memiliki peran sama, yakni memberikan pemahaman serta contoh perilaku yang bermoral untuk meningkatkan sensitivitas etis. Di lingkungan keluarga dan sekolah, kedua hal tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang tiap remaja karena tingkat sensitivitas etis ini dipengaruhi oleh orientasi etika, komitmen dalam diri, budaya atau kultur lingkungan, dan karakter personal. Lalu, di lingkungan masyarakat, kita dapat melibatkan peran pemerintah dan masyarakat untuk menstimulus sensitivitas etis remaja melalui berbagai program pengembangan kualitas remaja ataupun dengan mengikutsertakan mereka dalam organisasi dan perkumpulan remaja yang dibina dan dinaungi langsung oleh pemerintah setempat.

Dalam praktiknya, Moral Reasoning dan ethical sensitivity akan saling berkorelasi dalam merangsang sensitivitas etis remaja kemudian meningkatkan kesadaran moral remaja yang menjadi faktor utama yang memengaruhi perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis. Cara ini merupakan mekanisme yang sangat direkomendasikan dalam menyikapi fenomena degradasi moral remaja. Mekanisme ini secara praktik akan lebih tertanam dalam pemahaman remaja dan bersifat jangka panjang. Maka dari itu, diharapkan dengan menerapkan pendidikan berbasis Moral Reasoning dan ethical sensitivity, kesadaran moral remaja dapat lebih ditingkatkan sehingga mereka dapat lebih bijak dan selektif dalam memanfaatkan teknologi dan lebih beretika terutama dalam menyikapi stratifikasi sosial pergaulan remaja di era society 5.0

PENUTUP

Jadi, melalui penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini, kita tengah memasuki era society 5.0 yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin pesatnya perkembangan sistem informasi. Akan tetapi, perkembangan teknologi ini memiliki dampak positif dan dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua kalangan termasuk remaja. Buktinya, saat ini angka remaja yang mengalami degradasi moral sangatlah tinggi jika dilihat dengan mendata banyaknya pelanggaran moral yang dilakukan remaja. Maka dari itu, kita perlu memperbaiki moral dan karakter remaja agar sesuai dengan aturan dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Mekanisme yang dapat ditempuh adalah melalui pendidikan baik secara formal di sekolah ataupun secara non formal di lingkungan keluarga dan masyarakat berbasis moral reasoning dan ethical sensitivity. Moral Reasoning adalah kesadaran moral yang menjadi faktor utama yang memengaruhi perilaku dalam pengambilan keputusan etis. Sementara itu, ethical sensitivity merupakan kemampuan untuk menyadari nilai-nilai etika atau moral dalam suatu keputusan etis. Keduanya dapat diterapkan dalam model pendidikan untuk meningkatkan moralitas dan karakter remaja agar menjadi generasi yang berkualitas dan beretika dalam stratifikasi pergaulan remaja di era society 5.0. Oleh karena itu, implementasi pendidikan berbasis moral reasoning dan ethical sensitivity dapat dijadikan solusi dalam mengatasi persoalan degradasi moral remaja dan menjadi mekanisme self censor remaja terhadap stratifikasi pergaulan sosial di era society 5.0. Adapun sebagai rekomendasi, diharapkan ide ini dapat dikaji secara lebih lanjut oleh banyak pihak termasuk oleh kalangan pengajar atau masyarakat luas guna memperbaiki moral remaja serta menyiapkan mereka menjadi generasi emas di masa depan yang cerdas, berkualitas, dan juga berkarakter.

DAFTAR PUSTAKA

Al Faruqi, U. (2019). “Survey Paper: Future Service in Industry 5.0”. Jurnal Sistem Cerdas, 02(01), 67–79. https://doi.org/10.37396/jsc.v2i1.21.

Andriani, R., Suhrawardi, & Hapisah. (2022). “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja dengan Perilaku Seksual Pranikah”. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(10), 3441-3446.

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. (2022). Indonesia Drugs Report 2022. Jakarta: PUSLITDATIN BNN.

Dhae, A. Remaja Dominasi Perokok Aktif di Indonesia. (Online). Tersedia: https://www.tcsc-indonesia.org/remaja-dominasi-perokok-aktif-di-indonesia/#:~:text=Menurut%20Aris%2C%20hingga%20saat%20ini,tahun%20sudah%20menjadi%20perokok%20aktif, (15 Maret 2023).

Jayani, D.H. (2021). Kasus Kriminalitas Anak Didominasi Kekerasan Fisik. (Online). Tersedia: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/12/kasus-kriminalitas-anak-didominasi-kekerasan-fisik, (15 Maret 2023).

Martono, N. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Poskolonial. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Rahayu, D, dkk. (2019). “Pengaruh Moral Reasoning, Ethical Sensitivity, dan Kecerdasan Emosional terhadap Persepsi Etis Mahasiswa dengan Perilaku Belajar sebagai Variabel Moderating”.  Seminar Nasional dan The 6th Call For Syariah Paper (SANCALL) 2019.

Robbins, S. P. (2002). Prinsip prinsip perilaku organisasi (5 ed.). Jakarta: Erlangga.

Rusdiyani, E. (2016). “Pembentukan Karakter dan Moralitas bagi Generasi Muda yang Berpedoman pada Nilai-Nilai Pancasila serta Kearifan Lokal”. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Kewarganegaraan 2016, 33-46.

Vilda. (2019). Sosiologi. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel